Kamis, 28 April 2011

MASYARAKAT MADANI

Terlahirnya  istilah masyarakat madani di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa “ istilah masyarakat madani” sebagai terjemahan  “ civil society”, dalam ceramahnya pada simposium  nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995. Istilah masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran  Prof. Naquib al-Attas seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia dalam studinya baru-baru ini. Kemudian mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia  termasuk seorang Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat madani dalam sejarah islam pada  artikelnya “Menuju Masyarakat Madani”.[1]
Dewasa ini, istilah masyarakat madani semakin banyak disebut, mula-mula terbatas di kalangan intelektual, misalnya Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan Amien Rais. Tetapi perkembangannya  menunjukkan istilah masyarakat madani juga disebut-sebut oleh tokoh-tokoh pemerintahan  dan politik, misalnya mantan Presiden B.J. habibie, Wiranto, Soesilo bambang Yudoyono dan masih banyak lagi.[2] 
Masyarakat madani atau yang disebut orang barat Civil society mempunyai prinsip pokok pluralis, toleransi dan human right termasuk didalamnya adalah demokrasi. Sehingga masyarakat madani dalam artian negara menjadi suatu cita-cita bagi negara Indonesia ini, meskipun sebenarnya pada wilayah-wilayah tertentu, pada tingkat masyarakat kecil, kehidupan yang menyangkut prinsip pokok dari masyarakat madani sudah ada.   Sebagai bangsa yang pluralis dan majemuk, model masyarakat madani merupakan  tipe ideal suatu mayarakat Indonesia demi terciptanya integritas sosial bahkan integritas nasional.
Memencari padan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena  adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “masyarakat madaniyah” dalam tradisi kehidupan social dan politik bangsa kita. Namun banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada  tradisi Arab-Islam sedang  civil society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul.[3] 
Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, sehingga masyarakat madani bias berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham  bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota,yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti  peradaban atau kebudayaan tinggi. [4]
Penggunaan istilah masyarakat madani  dan civil society di Indonesia sering disamakan  atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.
Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah  Civil Society dari sudut konsep sosiologis. Yaitu, dalam tingkatan kelembagaan dan organisasi  sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Untuk yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan. Dalam pengertian civil society dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, yang menurut Seligman dikembangkan oleh T.H. Marshall. Atau dengan kata lain bicara civil society sama dengan bicara demokrasi. Dan civil society ini merupakan obyek kajian dalam dunia politik  (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts) . Sedangkan yang kedua, civil society  menjadi wilayah kajian filsafat yang menekankan  pada nilai dan kepercayaan. Yang kedua ini menurut Seligman, kajian civil society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep  durkheim tentang moral individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas  bentuk modern organisasi sosial, atau sintesa Talcott Person tentang karisma Weber dan individualism Durkheim.[5] 
Pemetaan tentang civil society pernah dilakukan oleh Michael W. Foley dan Bob Edwards yang menghasilkan Civil Sosiety I dan Civil Society II. Namun dalam perkembangannya , terdapat analisis yang  mencakup dari kedua aspek (civil Society I dan II), hingga menghasilkan kombinasi atau tipe Civil society III.
Dalam wacana civil society I di Indonesia  lebih menekankan aspek horizontal dan biasanya dekat dengan aspek budaya. Civil society di sini erat dengan “civility” atau keberadaban dan “fraternity”. Aspek ini dibahas pemikir masyarakat madani atau madaniah yang mencoba melihat relevansi konsep tersebut (semacam “indigenisasi”) dan menekankan toleransi antar agama. Analis utama dalam kelompok ini adalah Nurcholish Madjid yang mencoba melihat civil society berkaitan dengan masyarakat  kota madinah pada jaman Rosulullah.Menurut Madjid, piagam madinah merupakan dokumen politik pertama  dalam sejarah umat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi, sementara toleransi di Eropa (Inggris ) baru dimulai dengan The Toleration Act of 1689.[6] Penggunaan konsep madani ini mendapat kritik dari kelompok yang menggunakan “civil society’ dengan Muhammad Hikam sebagai pemikir utamanya. Perdebatan utamanya terletak pada bentuk masyarakat ideal dalam civil society tersebut. Walaupun kedua kelompok tersebut erat dengan “Islam cultural” namun contoh masyarakat Madinah kurang mencerminkan relevansi dengan Indonesia.[7]
Selain civil society dan masyarakat madani, konsep masyarakat warga atau kewargaan digunakan pula oleh  Ryaas Rasyid dan Daniel Dhakidae. Wacana dalam civil Society II  memfokuskan pada aspek “vertical” dengan mengutamakan otonomi masyarakat terhadap negara dan erat dengan aspek politik. Dalam civil society II, istilah “civil” dekat dengan “citizen’ dan “liberty”. Terjemahan yang diIndonesiakan adalah Masyarakat warga atau masyarakat kewargaan dan digunakan oleh ilmuwan politik . Pemahaman civil society II intinya  menekankan asosiasi diantara individu (keluarga) dengan negara yang relatif otonom dan mandiri. Namun, terdapat perdebatan apakah partai politik  atau konglomerat termasuk disini atau apakah semua organisasi yang non-negara merupakan civil society. Jadi civil society II dapat bermakna beragam dan ada pula yang mndefinisikan “civil society’ sebagai “the third sector” yang berbeda dari pemerintah dan pengusaha.[8]
Pembahasan civil society III merupakan upaya untuk mempertemukan civil sosiey I dan civil society II. Kombinasi antara Civil society I dan II yang menjadi civil society III telah dibahas oleh Afan Gaffar di bukunya Politik Indonesia; Transisi Menuju demokrasi (1999). Dibahas pula oleh Paulus Wirutomo dalam pidato pengukuhan Guru Besar yang berjudul  Membangun Masyarakat Adab: Suatu Sumbangan Sosiologi. Konsep civil society III ini yang dirasa relevan dengan masyarakat Indonesia dimana keadaan vertical (antar lapisan dan kelas), seperti demokratisasi dan partisipasi  erat kaitannya dengan situasi horizontal atau SARA. Kedua aspek tersebut mengalami represi dan sejak reformasi 1998 muncu ke permukaan dan membutuhkan perhatian dalam proses re-integrasi.[9]
Maka dari itu, perspektif masyarakat madani di Indonesia dapat dirumuskan secara sederhana, yaitu membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratif, dengan landasan taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa. Ditambah legalnya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan juga pluralisme, adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban (tamaddun). Sebab toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of civility).[10]
Di sini pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negative”, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan  fanatisme. Pluralisme harus difahami sebagai ‘pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan.[11]
Di Indonesia, pluralisme dalam keberagamaan dapat dibagi menjadi 3 jaman perkembangannya, yaitu:
1.    Pluralisme cikal-bakal. Yang di maksud istilah ini adalah pluralisme yang  relative stabil, karena kemajemukan suku dan masyarakat pada umumnya masih berada dalam taraf statis. Mereka hidup dalam lingkungan  yang relative terisolasi  dalam batas-batas wilayah  yang tetap, dan belum memiliki mobilitas yang tinggi karena teknologi  komunikasi dan transportasi  yang mereka miliki belum  memadai. Agama-agama suku hidup dalam claim dan domain yang terbatas, tidak berhubungan  satu dengan lainnya. Keadaan seperti ini tidak banyak berubah sampai datang  pengaruh agama yaitu agama Hindu dan Budha dengan tingkat peradabannya masing-masing.
2.    Pluralisme kompetitif. Pluralisme jenis kedua ini kira-kira mulai abad 13 ketika agama islam mulai berkembang di Indonesia, dan kemudian disusul dengan kedatangan agama Barat atau agama Kristen (baik katolik maupun Protestan) pada kira-kira abad 15. konflik dan peperangan mulai terjadi diantara kerajaan islam di pesisir dengan sisa-sisa kekuatan Majapahit di pedalaman Jawa. Ketika penjajah dating dengan konsep “God, Gold, and Glory”, persaingan antara Islam dan Kristen terus berlangsung hingga akhir abad 19.
3.    Pluralisme Modern atau pluralisme organik. Di awal abad ke 20, puncak dominasi Belanda atas wilayah nusantara tercapai dengan didirikannya “negara” Nederland Indie. Kenyataan negara ini  menjadi  sebuah kesatuan organic yang memiliki satu pusat pemerintah yang mengatur kehidupan berdasarkan hukum dan pusat  kekuasaan  yang riil. Pluralisme SARA memang diperlemah, disegregasikan, , dan dibuat terfragmentasikan demi kepentingan Belanda. Kemudian upaya-upaya mansipasi SARA pun terjadi dalam peristiwa Sumpah pemuda 1928 dan proklamasi kemerdekaan 1945.[12]




 [1] Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik hermeneutis Masyarakat madani Nurcholish Madjid, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
 [2] Ibid.
 [3] Achmad Jainuri, Agama dan Masyarakat Madani: Rujukan kasus tentang sikap Budaya, Agama, dan Politik, kata pengantar untuk Sufyanto, Op.Cit.
 [4] Mulyadhi Kertanegara, Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam, media Inovasi Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan edisi 1 TH-xii/2002.
 [5] A. Qodri Abdillah Azizy, Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta(Kajian Historis-Normatif), dalam Ismail dan Mukti, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2000.
 [6] Iwan Gardono Sujatmiko, Wacana Civil Society di Indonesia, Jurnal sosiologi edisi No.9, 2001, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
 [7] Ibid.
 [8] Ibid.
 [9] Ibid.
 [10] Sufyanto, Op., Cit.
 [11] Munawar-Rachman, Pluralisme dan Teologi Agama-Agama Islam dan Kristen, dalam Th. Sumartana (ed.), Op., Cit.
 [12] Th. Sumartana, Pluralisme, Konflik, dan Dialog; Refleksi tentang Hubungan antar Agama di Indonesia, dalam Sumartana (ed.), ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar